JEPARA – Pemkab Jepara didesak untuk tidak menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan sebagai dasar penghitungan Upah Minumum Kabupaten (UMK) Jepara 2018. Hal itu mengemuka saat sejumlah perwakilan serikat buruh yang ada di Jepara menemui Bupati Jepara Ahmad Marzuqi di ruang kerjanya Kamis kemarin (26/10/2017).
Serikat buruh yang terdiri dari Serikat Pekerja Nasional (SPN), Serikat Pekerja Seluruh Indonesia – Rokok Tembakau Makanan Minuman (SPSI-RTMM), dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), mereka menolak PP 78 tahun 2015. Hal ini lantaran upah buruh di Jepara kurang layak dibandingkan dengan daerah lain. Mereka mengusulkan agar skema pengupahan 2018 mengacu pada metode survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
“Upah Minimum Kabupaten (UMK) Jepara saat ini yang hanya Rp 1,6 juta kami anggap tidak mencukupi kebutuhan harian. Oleh karena itu kami mendesak agar pemerintah menerapkan skema survei KHL,” ungkap Muhammad Abidin, perwakilan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI).
Adapun berdasarkan hitung-hitungan organisasi buruh tersebut, besaran UMK Jepara 2018 adalah sebesar Rp 2.425.432. Angka tersebut menurut serikat pekerja dihasilkan dari perhitungan sesuai survei KHL ditambah angka inflasi dan produk domestik bruto.
Sementara itu, Bupati Jepara Ahmad Marzuqi mengungkapkan, pihaknya akan menerima aspirasi yang disampaikan ini. Hanya saja untuk UMK yang berlaku di Jepara saat ini angkanya sudah memenuhi KHL. UMK 2017 sebesar RP 1,6 juta ini mengalami kenaikan sebesar 18 persen atau yang tertinggi di Jawa Tengah.
Berdasarkan hitung-hitungan Pemerintah Kabupaten Jepara bersama Dewan Pengupahan, besaran UMK tahun 2018 adalah Rp 1.739.630 jika mengacu pada PP 78/2015. Angka itu didasarkan pada perhitungan UMK berjalan, plus angka inflasi nasional sebesar 3,72 dan PDB sebesar 4,99 persen.[]